Kamis, 30 Oktober 2014

Review Film Wanita Berkalung Sorban



Film                  : Perempuan Berkalung Sorban
Sutradara          : Hanung Bramantyo
Penulis              : Hanung Bramantyo dan Ginatri S. Noor
Produksi           : Starvision 2009
Film berjenis Drama ini merupakan sebuah film yang menceritakan tentang perjuangan dan pengorbanan seorang perempuan muslim. Yang hidup dilingkungan Islami dan merupakan anak seorang Kyai Salafiah. Anissa ( Revalina S. Tamat), seorang perempuan yang cerdas, kritis, pendirian yang kuat, dan juga cantik.  
Anak hidup dalam lingkuangan keluarga Kyai di sebuah pesantren Salafiah putri Al-Huda, Jawa timur. Ilmu sejati dan benar hanyalah Al-Qur’an, Hadist, dan juga Sunnah bagi pesantren itu. Sementara pengetahuan dan buku-buku Modern dianggap penyimpangan. Di pesantre Salafiah putri Al-huda, diajarkan dan sangat ditekankan bagimana menjadi seorang perempuan muslim. Anisa sangat geram, dikarenakan pelajaran yang diajarkan dan dianggapoleh Anisa adalah bahwa dalam Islam hanya membela laki-laki, perempuan sangat lemah dan hanya sebatas diam dirumah dan melayani suami tak kala sudah berkeluarga.
Sejak masih kecil saja, diawal film, Anisa sangat kritis dan menutut akan eksistensi dan pingin sama akan yang dilakukan oleh laki-laki. Dari keinginannya menunggangi kuda, menjadi ketua kelas dan lain sebagainya. Namun, segala protes dan sikap kritis Anisa tidak di gubris dan hanya sebatas rengekan tanpa arti. Dan hanya seorang laki-laki bernama Khudori yang sebisanya menghibur, dan memberi gambaran pengetahuan luar kepada Anisa. Dalam keseharian itu, Anisa memiliki perasaan kepada Khudori, namun cinta itu tak terbalas. Akan tetapi Khudori hanya diam dan membunuh cintanya dikarenakan sadar bahwa masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan. Itu lah sebabnya Khoduri berusaha untuk membunuh cintanya.
Kemudian Khudori pun pergi ke Kairo, Mesir. Untuk melanjutkan sekolahnya disana. Atas kepergiannya Khudori merasa kesepian, dan kemudian Anisa mendaftarkan kuliah ke Jogja dan diterima tapi Ayanhya Kyai Hanan tidak menginjinkan, dengan alasan menimbulkan fitnah, terlebih sendirian jauh dari orang tua. Betapapun Anisa protes dan memberi penjelasan, namun tak dapat izin dan tanpa alasan apapun.
Dan pada akhirnya malah Anisa dijodohkan dengan Syamsudin, seorang putra Kyai dari pesantren Slaf terbesar di Jawa Timur. Sekalipun Anisa menolak dan berontak, namun pernikahan tersebut tetap dilangsungkan. Selama menjalani perkawinan dengan Syamsudin, Anisa terasa tersiksa dan tidak bahagia. Di karenakan Syamsudin meruapakan lelaki yang tidak mengerti dan mau seenaknya aja untuk di layani kapanpun dia mau. Anisa berusaha sebaik mungkin untuk bisa memenuhi segala keinginan suaminya dan bahkan ketika dia menikah lagi dengan Kalsum. Sebagai wanita muslim yang baik dia berusaha untuk sabar dan tabah. Harapannya untuk menjadi wanita muslim yang mandiri pun kian pupus.
Annisa selalu merasa kalau perempuan hanya dipanndang sebelah mata, ditindas hak-haknya dan dilupakan suaranya. Namun, semuanya berubah ketika Khudori datang kembali ke Al-Huda dan bertemu dengan Annisa. Bayangan akan kenanngan yang dulu pun kian terasa. Dan mereka pun ngobrol di sebuah gubuk. Mereka pun disangka telah melakukan hal yang tak diperbolehkan sebagai seorang lelaki dan istri orang. Annisa akhirnya diceraikan sang suami, disiksa di depan umum dan juga dia memutuskan untuk pergi ke Yogjakarta.
Di Yogyakarta dia belajar dan menunjukan bakatnya sebagai seorang penulis. Dan kemudian dia bekerja sebagai seorang konsultan perlindungan perempuan dan menjadi seorang konsultan handal. Dan pada akhirnya dia bertemu dengan Khudori dan kemudian menikah. Mereka merasa bahagia. Khudori seorang laki-laki yang mengerti dan memahami akan keaadan Anisa. Dan kemudian mereka pulang ke Al-Huda dan berniat untuk membuat perpustakaan yang berisikan buku-buku modern. Namun, perjuangan Anisa banyak tantangan dan bahkan buku-buku yang dibawanya sesekali di bakar oleh pesantren. Tindakan yang dilakukan ditentang kakak-kakak Anisa yang mengurus pesantren sepeninggal Ayahnya. Lalu dia kembali ke Jogja dan kembali menjadi konsultan untuk lembaga hukum bantuan hukum untuk kaum perempuan. Berbagai tindakannya itu, menginspirasi oleh beberapa orang santriwati yang kemudian kabur dari pesantren.
Kemudian sadar dia memiliki tanggung jawab.  Anisa membawa santriwati itu pulang ke Al-Huda. Usaha dan kegigihan Anisa akhirnya berbuah. Ia berhasil membangun perpustakaan di pesantren Al-Huda itu.
Menurut tanggapan  penreview, selama belum adanya suatu penggerakan dan memahami  akan  eksistensi dan hak-hak perempuan muslim. Selama itulah Islam hanya menjadikan  laki-laki  sebagai pusat dan  kiblat yang hanya seenaknya melakukan apa saja. Secara tak sadar menimbulkan penindasan dan penurunan kelas terhadap perempuan itu sendiri. Namun, bukan berarti membela wanita muslim itu sendiri. Namun, sebagai seorang laki-laki harus serta merta paham dan ingat akan kodrat sebagai penanggung jawab. Yang dalam artian bisa melindungi bukannya menyiksa dan menindas.

Perempuan muslim juga harus diberi wadah kreasi. Jangan sampai terikat oleh konstruksi budaya. Perempuan muslim juga perlu kebebasan dalam segala aspek keakademikan  dan  kreasi,  jangan  sampai  kita hanya memberi stigma yang mengatas namakaan agama sebagai acuannya, namun kita perlu juga menelaah dari segi kesosialan dalam  kehidupan  masyarakat. Sekian  yang  dapat saya  sampaikan,  mudah-mudahan ini dapat menjadi sebuah wawasan kita. Dan apa yang di katakan oleh penulis novel tersebut “Tuhan mencintai perbedaan akan tetapi jangan jadikan sebuah perbedaan menjadi sebuah pembeda”  dan jangan sampai juga kita hanya memberi stigma yang merugikan satu sama lainnya. 

sumber : www.sctv.co.id
               http://jasmineboy.blogspot.com/
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar