Film : Perempuan Berkalung Sorban
Sutradara : Hanung Bramantyo
Penulis : Hanung Bramantyo dan Ginatri S.
Noor
Produksi : Starvision 2009
Film
berjenis Drama ini merupakan sebuah film yang menceritakan tentang perjuangan
dan pengorbanan seorang perempuan muslim. Yang hidup dilingkungan Islami dan
merupakan anak seorang Kyai Salafiah. Anissa ( Revalina S. Tamat), seorang
perempuan yang cerdas, kritis, pendirian yang kuat, dan juga cantik.
Anak
hidup dalam lingkuangan keluarga Kyai di sebuah pesantren Salafiah putri
Al-Huda, Jawa timur. Ilmu sejati dan benar hanyalah Al-Qur’an, Hadist, dan juga
Sunnah bagi pesantren itu. Sementara pengetahuan dan buku-buku Modern dianggap
penyimpangan. Di pesantre Salafiah putri Al-huda, diajarkan dan sangat
ditekankan bagimana menjadi seorang perempuan muslim. Anisa sangat geram,
dikarenakan pelajaran yang diajarkan dan dianggapoleh Anisa adalah bahwa dalam
Islam hanya membela laki-laki, perempuan sangat lemah dan hanya sebatas diam
dirumah dan melayani suami tak kala sudah berkeluarga.
Sejak
masih kecil saja, diawal film, Anisa sangat kritis dan menutut akan eksistensi
dan pingin sama akan yang dilakukan oleh laki-laki. Dari keinginannya
menunggangi kuda, menjadi ketua kelas dan lain sebagainya. Namun, segala protes
dan sikap kritis Anisa tidak di gubris dan hanya sebatas rengekan tanpa arti.
Dan hanya seorang laki-laki bernama Khudori yang sebisanya menghibur, dan
memberi gambaran pengetahuan luar kepada Anisa. Dalam keseharian itu, Anisa
memiliki perasaan kepada Khudori, namun cinta itu tak terbalas. Akan tetapi
Khudori hanya diam dan membunuh cintanya dikarenakan sadar bahwa masih ada
hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan. Itu lah sebabnya Khoduri berusaha
untuk membunuh cintanya.
Kemudian
Khudori pun pergi ke Kairo, Mesir. Untuk melanjutkan sekolahnya disana. Atas
kepergiannya Khudori merasa kesepian, dan kemudian Anisa mendaftarkan kuliah ke
Jogja dan diterima tapi Ayanhya Kyai Hanan tidak menginjinkan, dengan alasan
menimbulkan fitnah, terlebih sendirian jauh dari orang tua. Betapapun Anisa
protes dan memberi penjelasan, namun tak dapat izin dan tanpa alasan apapun.
Dan
pada akhirnya malah Anisa dijodohkan dengan Syamsudin, seorang putra Kyai dari
pesantren Slaf terbesar di Jawa Timur. Sekalipun Anisa menolak dan berontak,
namun pernikahan tersebut tetap dilangsungkan. Selama menjalani perkawinan
dengan Syamsudin, Anisa terasa tersiksa dan tidak bahagia. Di karenakan
Syamsudin meruapakan lelaki yang tidak mengerti dan mau seenaknya aja untuk di
layani kapanpun dia mau. Anisa berusaha sebaik mungkin untuk bisa memenuhi
segala keinginan suaminya dan bahkan ketika dia menikah lagi dengan Kalsum.
Sebagai wanita muslim yang baik dia berusaha untuk sabar dan tabah. Harapannya
untuk menjadi wanita muslim yang mandiri pun kian pupus.
Annisa
selalu merasa kalau perempuan hanya dipanndang sebelah mata, ditindas
hak-haknya dan dilupakan suaranya. Namun, semuanya berubah ketika Khudori
datang kembali ke Al-Huda dan bertemu dengan Annisa. Bayangan akan kenanngan
yang dulu pun kian terasa. Dan mereka pun ngobrol di sebuah gubuk. Mereka pun
disangka telah melakukan hal yang tak diperbolehkan sebagai seorang lelaki dan
istri orang. Annisa akhirnya diceraikan sang suami, disiksa di depan umum dan juga
dia memutuskan untuk pergi ke Yogjakarta.
Di
Yogyakarta dia belajar dan menunjukan bakatnya sebagai seorang penulis. Dan
kemudian dia bekerja sebagai seorang konsultan perlindungan perempuan dan
menjadi seorang konsultan handal. Dan pada akhirnya dia bertemu dengan Khudori
dan kemudian menikah. Mereka merasa bahagia. Khudori seorang laki-laki yang
mengerti dan memahami akan keaadan Anisa. Dan kemudian mereka pulang ke Al-Huda
dan berniat untuk membuat perpustakaan yang berisikan buku-buku modern. Namun,
perjuangan Anisa banyak tantangan dan bahkan buku-buku yang dibawanya sesekali
di bakar oleh pesantren. Tindakan yang dilakukan ditentang kakak-kakak Anisa
yang mengurus pesantren sepeninggal Ayahnya. Lalu dia kembali ke Jogja dan
kembali menjadi konsultan untuk lembaga hukum bantuan hukum untuk kaum
perempuan. Berbagai tindakannya itu, menginspirasi oleh beberapa orang
santriwati yang kemudian kabur dari pesantren.
Kemudian
sadar dia memiliki tanggung jawab. Anisa
membawa santriwati itu pulang ke Al-Huda. Usaha dan kegigihan Anisa akhirnya
berbuah. Ia berhasil membangun perpustakaan di pesantren Al-Huda itu.
Menurut
tanggapan penreview, selama belum adanya
suatu penggerakan dan memahami akan eksistensi dan hak-hak perempuan muslim.
Selama itulah Islam hanya menjadikan laki-laki sebagai pusat dan kiblat yang hanya seenaknya melakukan apa
saja. Secara tak sadar menimbulkan penindasan dan penurunan kelas terhadap
perempuan itu sendiri. Namun, bukan berarti membela wanita muslim itu sendiri.
Namun, sebagai seorang laki-laki harus serta merta paham dan ingat akan kodrat
sebagai penanggung jawab. Yang dalam artian bisa melindungi bukannya menyiksa
dan menindas.
Perempuan
muslim juga harus diberi wadah kreasi. Jangan sampai terikat oleh konstruksi
budaya. Perempuan muslim juga perlu kebebasan dalam segala aspek keakademikan dan kreasi, jangan sampai
kita hanya memberi stigma yang mengatas
namakaan agama sebagai acuannya, namun kita perlu juga menelaah dari segi
kesosialan dalam kehidupan masyarakat. Sekian yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan ini dapat menjadi sebuah wawasan
kita. Dan apa yang di katakan oleh penulis novel tersebut “Tuhan mencintai
perbedaan akan tetapi jangan jadikan sebuah perbedaan menjadi sebuah pembeda” dan jangan sampai juga kita hanya memberi stigma
yang merugikan satu sama lainnya.
sumber : www.sctv.co.id
http://jasmineboy.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar